Rabu, 13 Februari 2013

sekularisme islam di indonesia


SEKULARISME ISLAM di indonesia
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mandiri
                                   Mata Kuliah Pemikiran Modern Dalam Islam
Pada Jurusan PAI-D Semester IV
Tahun Akademik 2011/2012


Disusun Oleh:
          AMINNUDIN           
 NIM: 1410110122

Dosen Pembimbing :
IWAN AHENDA, M.Ag.

FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI CIREBON
TAHUN 2012





KATA PENGANTAR

Segala puji kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan hidayahnya kami dapat menyusun makalah yang bertema “Sekularisme Islam Di Indonesia” untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Pemikiran Modern Dalam Islam.
Shalawat dan salam semoga di limpahkan kepada Rasulullah SAW, beserta keluarganya, saudaranya, sahabatnya, penyebar dan penghidup sunnahnya hingga hari pembalasan.
Dalam masalah ini akan menerangkan tentang Pendekatan Pemikiran Dalam Islam, di harapkan makalah ini dapat memberikan manfaat, menambah wawasan ilmu pengetahuan dan menambah pengalaman baik bagi kami  maupun bagi pembaca .
Dalam pembuatan makalah ini kami tidak terlepas dari peran serta berbagai pihak yang memberikan saran, serta masukan- masukan guna pembuatan makalah ini. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih kepada yang bersangkutan.
Kendati kami telah berusaha semaksimal  mungkin dengan kemampuan yang ada. Namun , sebagaimana pepatah mengatakan, bahwa “tiada gading yang tak retak”, tentu penyajian makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunannya dalam berbagai hal. Untuk itu, segala kritik dan saran sangat diharapkan oleh penyusun demi sempurnanya makalah ini.
Amiiin…


                                                                                               Cirebon, 30 Mei 2012
                                                                                                           
                                                                                                            Penulis
           



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................  i
DAFTAR ISI ..................................................................................................  ii      
BAB I       PENDAHULUAN          
A.      Latar Belakang Masalah ..........................................................  1
B.       Rumusan Masalah ....................................................................  1
C.       Tujuan Pembahasan.................................................................. 1
BAB II                 PEMBAHASAN
1.      Pengertian Sekularisme...........................................................   6
2.      Pandangan Islam Terhadap Sekularisme.................................  8
3.      Mereformasi Sekularisme Di Indonesia.................................  12
4.      Prinsip Sekularisme Di Indonesia …………………………   14
5.      Ideologi Islam Di Indonesia ………………………………..  16
BAB III    PENUTUP
A.    Kesimpulan…………………………………………………  18
B.     Saran……………………………………………………….   18
DAFTAR PUSTAKA            ……………………………………………………...  19












BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sekularisme secara terminologi sering didefinisikan sebagai sebuah konsep yang memisahkan antara negara dan agama (state and religion). Yaitu, bahwa negara merupakan lembaga yang mengurusi tatatanan hidup yang bersifat duniawi dan tidak ada hubungannya dengan yang berbau akhirat, sedangkan agama adalah lembaga yang hanya mengatur hubungan manusia dengan hal-hal yang bersifat metafisis dan bersifat spiritual, seperti hubungan manusia dengan tuhan. Maka, menurut para sekular, negara dan agama yang dianggap masing-masing mempunyai kutub yang berbeda tidak bisa disatukan. Masing-masing haruslah berada pada jalurnya sendiri-sendiri.
Indonesia sebetulnya sudah bisa disebut sebagai negara sekular. Karena, melihat kenyataan di lapangan negeri ini sudah sedemikian bergantungnya kepada sistem sekularisme yang merupakan ‘akidah’ dari kapitalisme ini. Jika pun muncul pernyataan yang menolak disebut negara agama dan negara sekular, itu hanya sebatas menjaga perasaan warga negaranya saja. Meski pada kenyataannya, masyarakat kita pun sudah terbiasa dengan gaya kehidupan masyarakat sekular yang berciri utama kebebasan dan tidak melibatkan agama dalam penyelesaian problem kehidupan. Ini merupakan tabiat utama sekularisme. Itu sebabnya, pantas jika sekularisme disebut sebagai ‘akidah’ yang meminggirkan kedaulatan Ilahi demi kepentingan manusia.

B.     Rumusan Masalah
Dalam penjelasan ini penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut:
1)      Apa yang di maksud Sekularisme?
2)      Bagaimana Pandangan Islam Terhadap Sekularisme?
3)      Bagaimana Cara Mereformasi Sekularisme Di Indonesia ?
4)      Apa saja Prinsip Sekularisme Di Indonesia?
5)      Bagaimana  Ideologi Islam Di Indonesia?

C.    Tujuan Masalah
Dalam makalah ini penulis bertujuan untuk mengetahui hal-hal berikut :
1)      Mengetahui Pengertian Sekularisme.
2)      Mengetahui Pandangan Islam Terhadap Sekularisme.
3)      Mengetahui Cara Mereformasi Sekularisme Di Indonesia.
4)      Mengetahui Prinsip Sekularisme Di Indonesia.
5)      Mengetahui Ideologi Islam Di Indonesia.
























BAB II
PEMBAHASAN

  1. Pengertian Sekularisme
Secara etimologi sekularisme berasal dari kata saeculum (bahasa latin) yang memiliki arti waktu tertentu atau tempat tertentu. Atau lebih tepatnya menunjukkan kepada waktu sekarang dan di sini, dunia ini. Sehingga, sungguh tepat jika saeculum disinonimkan dengan kata wordly dalam bahasa inggrisnya. Maka sekularisme secara bahasa bisa diartikan sebagai faham yang hanya melihat kepada kehidupan saat ini saja dan di dunia ini (keduniaan an sich). Tanpa ada perhatian sama sekali kepada hal-hal yang bersifat spiritual seperti adanya kehidupan setelah kematian yang notabene adalah inti dari ajaran agama.[1]
Sekulerisme dalam penggunaan masa kini secara garis besar adalah sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan. Sekularisme dapat menunjang kebebasan beragama dan kebebasan dari pemaksaan kepercayaan dengan menyediakan sebuah rangka yang netral dalam masalah kepercayaan serta tidak menganakemaskan sebuah agama tertentu. Sekularisme juga merujuk ke pada anggapan bahwa aktivitas dan penentuan manusia, terutamanya yang politis, harus didasarkan pada apa yang dianggap sebagai bukti konkret dan fakta, dan bukan berdasarkan pengaruh keagamaan.
Tujuan dan argumen yang mendukung sekularisme beragam. dalam Laisisme Eropa, di usulkan bahwa sekularisme adalah gerakan menuju modernisasi dan menjauh dari nilai-nilai keagamaan tradisional. Tipe sekularisme ini, pada tingkat sosial dan filsafats seringkali terjadi selagi masih memelihara gereja negara yang resmi, atau dukungan kenegaraan lainnya terhadap agama.
Dalam kamus al-Mu’jam al-Wasith sekular didefinisikan sebagai al-Almaniyah dengan menisbahkan kepada ‘Alm (alam atau dunia). Sebagai penjelas tambahan dari istilah sekularisme ini, beberapa kalangan dari politisi, sejarawan, dan budayawan Inggris menyebutkan bahwa sekularisme adalah produk dari masyarakat Kristen yang didefinisikan sebagai reaksi atau gerakan penentangan.[2]
Untuk memudahkan, definisi yang paling masyhur secara istilah menyatakan bahwa sekularisme adalah “memisahkan agama dari negara”.  Sufur bin Abdul Rahman al-Hawali menyatakan bahwa sekularisme adalah: “Membangun kehidupan bukan berdasarkan agama, baik dalam sebuah negara ataupun bagi seorang individu”[3]
Melengkapi definisi ini, dalam bahasa Perancis, sekular juga dikenal sebagai laicisme. Yakni satu doktrin yang benar-benar bebas dan tidak bercampur dengan agama. Ia melibatkan kepercayaan bahwa peranan atau fungsi yang biasa dilaksanakan oleh kaum rohaniwan, seharusnya dipindah-alihkan kepada negara, terutama di dalam bidang perundangan dan pendidikan.
Sementara untuk negara agama, seringkali dipahami sebagai negara yang berlandaskan doktrinasi agama tertentu yang berkuasa atas jalannya pemerintahan suatu negara. Banyak kalangan mengkhawatirkan masalah ini. Bahkan menilainya dengan ketakutan yang sangat berlebihan. Menurut mereka, negara agama akan menciptakan kekuasaan yang otoriter atas nama agama tertentu untuk menutup ruang gerak pemeluk agama lain. Hasilnya, akan menyuburkan perseteruan tiada akhir.
Kekhawatiran itu antara lain muncul dalam bentuk pernyataan yang menganggap bahwa warga nonmuslim misalnya, akan menjadi warga kelas dua. Dijelaskan pula bahwa negara agama, dalam hal ini negara Islam tidak mungkin sesuai dengan prinsip equal opportunity bagi semua warga negara. Dalam negara Islam, hukum Islam menjadi konstitusi negara. Pemimpin politik nasional mustahil datang dari agama yang berbeda dari Islam. Orang yang bukan Islam menjadi warga negara kelas dua, karena sistem tidak memungkinkannya menjadi pemimpin nasional, yang akan tunduk pada hukum Islam (bagaimana mengharapkan hukum Islam dijalankan oleh orang yang tidak percaya kepada hukum Islam karena tidak beragama Islam).
Bahkan seringkali diberikan labelisasi bahwa para penggagas negara agama adalah mereka yang berasal dari kalangan garis keras. “Ketidakjelasan hubungan agama dengan negara termaktub dalam al-Quran, yang tidak memberikan suatu pola teori kenegaraan yang pasti yang harus diikuti oleh umat Islam di berbagai negeri. Namun demikian, paradigma penyatuan antara Islam dan negara diambil oleh kelompok Islam radikal. Bagi mereka, Islam sebagai agama diyakini memiliki seluruh perangkat kenegaraan yang tegas dan jelas. Keyakinan ini mendasari adanya paradigma hubungan agama dan negara secara integratif,” papar Khamami Zada. [4]
Dari beberapa penjelasan ini, Indonesia sebetulnya sudah bisa disebut sebagai negara sekular. Karena, melihat kenyataan di lapangan negeri ini sudah sedemikian bergantungnya kepada sistem sekularisme yang merupakan ‘akidah’ dari kapitalisme ini. Jika pun muncul pernyataan yang menolak disebut negara agama dan negara sekular, itu hanya sebatas menjaga perasaan warga negaranya saja. Meski pada kenyataannya, masyarakat kita pun sudah terbiasa dengan gaya kehidupan masyarakat sekular yang berciri utama kebebasan dan tidak melibatkan agama dalam penyelesaian problem kehidupan. Ini merupakan tabiat utama sekularisme. Itu sebabnya, pantas jika sekularisme disebut sebagai ‘akidah’ yang meminggirkan kedaulatan Ilahi demi kepentingan manusia.[5]

  1. Pandangan Islam Terhadap Sekularisme
Jika sebuah ide telah menjadi sebuah raksasa yang menggurita, maka tentunya akan sangat sulit untuk melepaskan belenggu tersebut darinya. Terlebih lagi ummat Islam sudah sangat suka dan jenak dengan tata kehidupan yang sangat sekularistik tersebut. Dan sebaliknya, mereka justru sangat khawatir dan takut jika penataan negara ini harus diatur dengan syari’at Islam. Mereka khawatir, syari’at Islam adalah pilihan yang tidak tepat untuk kondisi masyarakat nasional dan internasional saat ini, yang sudah semakin maju, modern, majemuk dan pluralis. Mereka khawatir, munculnya syari’at Islam justru akan menimbulkan konflik baru, terjadinya disintegrasi, pelanggaran HAM, dan mengganggu keharmonisan kehidupan antar ummat beragama yang selama ini telah tertata dan terbina dengan baik.[6]
Untuk dapat menjawab persoalan ini, marilah kita kembalikan satu-per satu masalah ini  pada bagaimana pandangan Al Qur’an terhadap prinsip-prinsip sekularisme di atas, mulai dari yang paling mendasar, kemudian turunan-turunannya. Kita mulai dari firman Allah dalam Q.S. Al Insan: 2-4:
$¯RÎ) $oYø)n=yz z`»|¡SM}$# `ÏB >pxÿôÜœR 8l$t±øBr& ÏmÎ=tGö6¯R çm»oYù=yèyfsù $JèÏJy #·ŽÅÁt/ ÇËÈ   $¯RÎ) çm»uZ÷ƒyyd Ÿ@Î6¡¡9$# $¨BÎ) #[Ï.$x© $¨BÎ)ur #·qàÿx. ÇÌÈ   !$¯RÎ) $tRôtFôãr& šúï̍Ïÿ»s3ù=Ï9 6xÅ¡»n=y Wx»n=øîr&ur #·ŽÏèyur ÇÍÈ  
Artinya:“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur, yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat, Sesungguhnya Kami telah menunjukinya dengan jalan yang lurus, ada yang bersyukur ada pula yang kafir, Sesungguhnya Kami menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu dan neraka yang menyala-nyala”. (Q.S. Al Insan: 2-4)
Ayat-ayat di atas memberitahu dengan jelas kepada manusia, mulai dari siapa sesungguhnya Pencipta manusia, kemudian untuk apa Pencipta menciptakan manusia hidup di dunia ini. Hakikat hidup manusia di dunia ini tidak lain adalah untuk menerima ujian dari Allah SWT, berupa perintah dan larangan. Allah juga memberi tahu bahwa datangnya petunjuk dari Allah untuk hidup manusia bukanlah pilihan bebas manusia (sebagaimana prinsip HAM), yang boleh diambil, boleh juga tidak. Akan tetapi, merupakan kewajiban asasi manusia (KAM), sebab jika manusia menolaknya (kafir) maka Allah SWT telah menyiapkan siksaan yang sangat berat di akherat kelak untuk kaum kafir tersebut.
Selanjutnya, bagi mereka yang berpendapat bahwa jalan menuju kepada petunjuk Tuhan itu boleh berbeda dan boleh dari agama mana saja (yang penting tujuan sama), sebagaimana yang diajarkan dalam prinsip pluralisme agama di atas, maka hal itu telah disinggung oleh Allah dalam firmanNya Q.S. Ali ‘Imran: 19:
¨bÎ) šúïÏe$!$# yYÏã «!$# ÞO»n=óM}$# 3 $tBur y#n=tF÷z$# šúïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# žwÎ) .`ÏB Ï÷èt/ $tB ãNèduä!%y` ÞOù=Ïèø9$# $Jøót/ óOßgoY÷t/ 3 `tBur öàÿõ3tƒ ÏM»tƒ$t«Î/ «!$#  cÎ*sù ©!$# ßìƒÎŽ|  É>$|¡Ïtø:$# ÇÊÒÈ  
Artinya:“Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam, Barangsiapa mencari agama selain Islam, sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dan di akhirat kelak dia termasuk orang-orang yang merugi (masuk neraka)”. (Q.S. Ali ‘Imran: 19)
Walaupun Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan yang diridhai, namun ada penegasan dari Allah SWT, bahwa tidak ada paksaan untuk masuk Islam. Firman Allah SWT dalam Q.S. Al Baqarah: 256:
Iw on#tø.Î) Îû ÈûïÏe$!$# ( s% tû¨üt6¨? ßô©9$# z`ÏB ÄcÓxöø9$# 4 `yJsù öàÿõ3tƒ ÏNqäó»©Ü9$$Î/ -ÆÏB÷sãƒur «!$$Î/ Ïs)sù y7|¡ôJtGó$# Íouróãèø9$$Î/ 4s+øOâqø9$# Ÿw tP$|ÁÏÿR$# $olm; 3 ª!$#ur ììÏÿxœ îLìÎ=tæ ÇËÎÏÈ  
Artinya:“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah”.( Q.S. Al Baqarah: 256)
Jika Islam harus menjadi satu-satunya agama pilihan, yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah, sejauh mana manusia harus melaksanakan agama Islam tersebut? Allah SWT memberitahu kepada manusia, khususnya yang telah beriman untuk mengambil Islam secara menyeluruh. Firman Allah SWT, dalam Q.S. Al Baqoroh: 208:
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=äz÷Š$# Îû ÉOù=Åb¡9$# Zp©ù!$Ÿ2 Ÿwur (#qãèÎ6®Ks? ÅVºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4 ¼çm¯RÎ) öNà6s9 Arßtã ×ûüÎ7B ÇËÉÑÈ  
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnaya setan itu musuh yang nyata bagimu”.( Q.S. Al Baqoroh: 208)

Perintah untuk masuk Islam secara keseluruhan juga bukan merupakan pilihan bebas, sebab ada ancaman dari Allah SWT, jika kita mengambil Al Qur’an secara setengah-setengah. Firman Allah SWT dalam Q.S. Al Baqoroh: 85:
§NèO öNçFRr& ÏäIwàs¯»yd šcqè=çGø)s? öNä3|¡àÿRr& tbqã_̍øƒéBur $Z)ƒÌsù Nä3ZÏiB `ÏiB öNÏd̍»tƒÏŠ tbrãyg»sàs? NÎgøŠn=tæ ÄNøOM}$$Î/ Èbºurôãèø9$#ur bÎ)ur öNä.qè?ù'tƒ 3t»yé& öNèdrß»xÿè? uqèdur îP§ptèC öNà6øn=tã öNßgã_#t÷zÎ) 4 tbqãYÏB÷sçGsùr& ÇÙ÷èt7Î/ É=»tGÅ3ø9$# šcrãàÿõ3s?ur <Ù÷èt7Î/ 4 $yJsù âä!#ty_ `tB ã@yèøÿtƒ šÏ9ºsŒ öNà6YÏB žwÎ) Ó÷Åz Îû Ío4quŠysø9$# $u÷R9$# ( tPöqtƒur ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# tbrŠtãƒ #n<Î) Ïdx©r& É>#xyèø9$# 3 $tBur ª!$# @@Ïÿ»tóÎ/ $£Jtã tbqè=yJ÷ès? ÇÑÎÈ  
Artinya:“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab dan ingkar kepada sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak akan lengah dari apa yang kamu perbuat”.( Q.S. Al Baqoroh: 85)
Walaupun penjelasan Allah dari ayat-ayat di atas telah gamblang, namun masih ada kalangan ummat Islam yang berpendapat bahwa kewajiban untuk terikat kepada Islam tetap hanya sebatas persoalan individu dan pribadi, bukan persoalan hubungan antar manusia dalam bermasyarakat dan bernegara. Untuk menjawab persoalan itu ada banyak ayat yang telah menjelaskan hal itu, di antaranya Q.S. Al Maidah: 48:
!$uZø9tRr&ur y7øs9Î) |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ $]%Ïd|ÁãB $yJÏj9 šú÷üt/ Ïm÷ƒytƒ z`ÏB É=»tGÅ6ø9$# $·YÏJøygãBur Ïmøn=tã ( Nà6÷n$$sù OßgoY÷t/ !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# ( Ÿwur ôìÎ6®Ks? öNèduä!#uq÷dr& $£Jtã x8uä!%y` z`ÏB Èd,ysø9$# 4 9e@ä3Ï9 $oYù=yèy_ öNä3ZÏB Zptã÷ŽÅ° %[`$yg÷YÏBur 4 öqs9ur uä!$x© ª!$# öNà6n=yèyfs9 Zp¨Bé& ZoyÏnºur `Å3»s9ur öNä.uqè=ö7uŠÏj9 Îû !$tB öNä38s?#uä ( (#qà)Î7tFó$$sù ÏNºuŽöyø9$# 4 n<Î) «!$# öNà6ãèÅ_ötB $YèÏJy_ Nä3ã¥Îm6t^ãŠsù $yJÎ/ óOçGYä. ÏmŠÏù tbqàÿÎ=tFøƒrB ÇÍÑÈ  

Artinya:“Maka hukumkanlah di antara mereka dengan apa yang Allah turunkan, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka (dengan meninggalkan) kebenaran yang telah datang kepada engkau”.( Q.S. Al Maidah: 48)
Perintah tersebut menunjukkan bahwa Al-Qur’an diturunkan juga berfungsi untuk mengatur dan menyelesaikan perkara yang terjadi di antara manusia. Dan dari ayat ini juga dapat diambil kesimpulan tentang keharusan adanya pihak yang mengatur, yaitu penguasa negara yang bertugas menerapkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal itu diperkuat dalam Q.S. An Nissa’: 59:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ  
Artinya:“Hai orang-orang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.( Q.S. An Nissa’: 59)    
Ayat-ayat tersebut menerangkan bahwa munculnya rahmat itu karena diutusnya Nabi (yang membawa Islam), bukan yang sebalikya, yaitu setiap yang nampaknya mengandung maslahat itu pasti sesuai dengan Islam. Dengan demikian jika ummat manusia ingin mendapatkan rahmat dari Tuhannya, tidak bisa tidak melainkan hanya dengan menerapkan dan mengamalkan syari’at Islam. Selain itu, ayat tersebut juga menegaskan bahwa rahmat tersebut juga berlaku untuk muslim, non muslim maupun seluruh semesta alam ini.

  1. Mereformasi Sekularisme Di Indonesia
Mungkinkah mereformasi sebuah negara sekular? Jawabannya mungkin dan bisa dilakukan. Dalam tataran konsep pemahaman keagamaan pun, Nurcholis Madjid pernah mereformasi keyakinan umat tentang Islam. Dengan semboyannya yang terkenal di era 70-an, “Sekularisme Yes, Islam No!”, Cak Nur, panggilan akrab penarik gerbong sekularisme ini, berhasil membutakan akal sehat sebagian besar umat Islam negeri ini. Hasilnya, pembelaan terhadap sekularisme meningkat, dan pengucilan terhadap Islam menjadi-jadi. Itu sebabnya, kita pun bisa mengubah negara sekular dengan Islam. Kita hanya membutuhkan usaha bersama, kerja keras, dan konsep yang jelas tentang negara Islam sekaligus mengetahui titik lemah sekularisme.[7]
Untuk mengetahui titik lemah sekularisme, kita bisa melihat produk sistem kehidupan buatan manusia ini. Kegagalan demi kegagalan senantiasa menjadi bukti betapa lemahnya sistem ini untuk mengatur kehidupan umat manusia. Angka kriminalitas yang meningkat tajam, ekonomi yang carut-marut, bahkan bidang politik dan keamanan negara yang semrawut. Ideologi ini sudah cacat sejak lahir. Betapa tidak, ‘kenekatannya’ untuk ngotot memisahkan agama dari negara adalah sebuah kekeliruan terbesar yang dilakukan para penggagas sekularisme.[8]
Padahal dalam Islam, agama dan negara merupakan relasi yang harmonis dalam menciptakan konsep kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Akidah Islamiyah adalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, dan qadar (taqdir) Allah. Akidah ini merupakan dasar ideologi Islam yang darinya terlahir berbagai pemikiran dan hukum Islam yang mengatur kehidupan manusia. Akidah Islamiyah menetapkan bahwa keimanan harus terwujud dalam keterikatan terhadap hukum syara’, yang cakupannya adalah segala aspek kehidupan. Itu artinya, pengingkaran kepada sebagian saja dari hukum Islam (seperti yang terwujud dalam sekulerisme) adalah suatu kebatilan dan kekufuran yang nyata. Allah Swt. berfirman :
Ÿxsù y7În/uur Ÿw šcqãYÏB÷sム4Ó®Lym x8qßJÅj3ysム$yJŠÏù tyfx© óOßgoY÷t/ §NèO Ÿw (#rßÅgs þÎû öNÎhÅ¡àÿRr& %[`tym $£JÏiB |MøŠŸÒs% (#qßJÏk=|¡çur $VJŠÎ=ó¡n@ ÇÏÎÈ  
Artinya: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan..” (QS an-Nisaa` [4]: 65)
!$¯RÎ) $uZø9tRr& sp1uöq­G9$# $pkŽÏù Wèd ÖqçRur 4 ãNä3øts $pkÍ5 šcqŠÎ;¨Y9$# tûïÏ%©!$# (#qßJn=ór& tûïÏ%©#Ï9 (#rߊ$yd tbqŠÏY»­/§9$#ur â$t6ômF{$#ur $yJÎ/ (#qÝàÏÿósçGó$# `ÏB É=»tFÏ. «!$# (#qçR%Ÿ2ur Ïmøn=tã uä!#ypkà­ 4 Ÿxsù (#âqt±÷s? }¨$¨Y9$# Èböqt±÷z$#ur Ÿwur (#rçŽtIô±n@ ÓÉL»tƒ$t«Î/ $YYyJrO WxŠÎ=s% 4 `tBur óO©9 Oä3øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrãÏÿ»s3ø9$# ÇÍÍÈ  
Artinya: “Barangsiapa yang tidak memberi keputusan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (QS al-Maa`idah [5] : 44)
            Dengan demikian, seluruh hukum Islam wajib diterapkan bagi manusia, sebagai tindakan nyata adanya iman dan akidah islamiyah. Masalahnya, karena hukum-hukum Islam tidak bisa diterapkan dengan sempurna kecuali jika ada intitusi  negara, maka keberadaan negara dalam Islam adalah sebuah keharusan yang tak bisa ditawar lagi. Pendek kata, agama tak dapat dipisahkan dari negara. Agama mengatur seluruh aspek kehidupan melalui negara yang terwujud dalam konstitusi dan segenap undang-undang yang mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Dengan melihat kenyataan seperti ini, rasanya pantas untuk mengingatkan kepada para penggagas dan pejuang sekularisme, bahwa kini saatnya Anda harus berhenti berharap untuk mewujudkan negara adil-makmur, aman dan sejahtera di bawah naungan kapitalisme-sekularisme.

























BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Sekularisme adalah “memisahkan agama dari negara”.  Sufur bin Abdul Rahman al-Hawali menyatakan bahwa sekularisme adalah: “Membangun kehidupan bukan berdasarkan agama, baik dalam sebuah negara ataupun bagi seorang individu para penggagas negara agama adalah mereka yang berasal dari kalangan garis keras.  
Islam adalah agama yang sempurna (kaffah), mengatur seluruh aspek kehidupan. Mulai dari yang dipandang kecil seperti memakai sandal mulai dari kaki kanan terlebih dahulu hingga mengatur urusan politik dan pemerintahan.
Indonesia sebetulnya sudah bisa disebut sebagai negara sekular. Karena, melihat kenyataan di lapangan negeri ini sudah sedemikian bergantungnya kepada sistem sekularisme yang merupakan ‘akidah’ dari kapitalisme ini.
Ketidakjelasan hubungan agama dengan negara termaktub dalam al-Quran, yang tidak memberikan suatu pola teori kenegaraan yang pasti yang harus diikuti oleh umat Islam di berbagai negeri. Namun demikian, paradigma penyatuan antara Islam dan negara diambil oleh kelompok Islam radikal. Bagi mereka, Islam sebagai agama diyakini memiliki seluruh perangkat kenegaraan yang tegas dan jelas.
B.     Saran
Dalam pembahasan makalah ini kami akan membahas tentang Sekularisme Islam Di Indonesia, di harapkan makalah ini dapat memberikan manfaat, menambah wawasan ilmu pengetahuan dan menambah pengalaman baik bagi kami  maupun bagi pembaca .
Kendati kami telah berusaha semaksimal  mungkin dengan kemampuan yang ada. Tentu penyajian makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunannya dalam berbagai hal. Untuk itu, segala kritik dan saran sangat diharapkan oleh penyusun demi sempurnanya makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Nulkarim (Terjemahan DEPAG).
Altwajri, Ahmed O., 1997. Islam, Barat dan Kebebasan Akademis. Jogjakarta : Titian Ilahi Press..
Audi, Robert, 2002. Agama dan Nalar Sekuler dalam Masyarakat Liberal. Yogyakarta : UII Press.
Hamid , Ahmad. Dkk. 2010. Pemikiran Modern Dalam Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Mudzhar, M. Atho, 1998, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Cet. II.
Munawar Budhy,dkk.2010. Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme. Jakarta: Grasindo.
Nasiwan, 2003. Diskursus antara Islam dan Negara – Suatu Kajian Tentang Islam Politik di Indonesia. Pontianak : Yayasan Insan Cita.
Shaleh, Khudlori. 2003. Pemikiran Islam Kontemporer. Yogyakarta : Jendela.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar